Scroll, Klik, Lalu Percaya: Kebiasaan Pilih-Pilih Berita

Scroll, Klik, Lalu Percaya: Kebiasaan Pilih-Pilih Berita

Foto: Herri Novealdi ( Ahli Dewan Pers Jambi)

Oleh Herri Novealdi 

Beberapa tahun lalu koran pagi dinikmati sambil sarapan dan menyeruput kopi. Siaran berita malam menjadi penutup hari. Waktu itu, informasi diserap dengan jeda, dicerna dengan akal. Semua itu kini sudah berubah drastis. Berita sudah tidak lagi dibaca seperti dulu dengan tenang. Berita dipilih-pilih, lewat layar handphone, muncul berbagai informasi. Scroll, dipilih-pilih, klik, lalu percaya.

Perkembangan teknologi dan internet telah mengubah cara publik mengakses informasi. Tak perlu menunggu besok. Informasi terbaru setiap detik, tiap menit, muncul dari berbagai macam saluran aplikasi di handphone. Kini telah muncul cara baru mengakses informasi yang berpotensi menyempitkan cakrawala berpikir kita, yakni: kebiasaan memilih informasi hanya yang sesuai dengan keyakinan dan kesukaan kita sendiri.

Di dalam teori komunikasi dikenal istilah selective exposure, atau dalam istilah lain bisa dibilang sebagai paparan selektif. Publik cenderung mencari informasi dan membaca berita yang mendukung posisi politik, nilai sosial, atau persepsi mereka sendiri. Kalau ketemu di beranda media sosial ada persepsi yang berbeda, mereka abaikan. Bila muncul hal yang tidak menyenangkan muncul di beranda, mereka tolak. Bahkan sekalipun informasi itu sesuai fakta, bila tidak cocok bisa-bisa dianggap hoaks.

Lebih dari sekadar preferensi, selective exposure nyatanya telah diperkuat oleh algoritma media sosial yang kini semakin canggih, tanpa kita sadari. Berbagai platform media sosial seperti Facebook, YouTube, TikTok, Twitter tidak menyajikan semua berita. Lewat algoritma, mereka pilihkan berita untuk kita: dari hal-hal yang sering kita cari, kita sukai, kita klik, ataupun kita bagikan. Tanpa sadar kita sudah masuk di dalam filter bubble (gelembung informasi). Kita tergabung dengan hal-hal yang tampak seragam, tapi bias karena dengan keyakinan kita sendiri.

Tak hanya itu, kita belakangan lebih percaya pada opini viral, bukan pada laporan jurnalistik yang diverifikasi secara berlapis. Belakangan kita tergoda dengan narasi-narasi emosional, bukan pada data yang faktual. Kita lebih sibuk mengejar siapa yang menang debat, bukan siapa yang justru menyampaikan kebenaran. Inilah wajah kita mengkonsumsi berita sekarang! Cepat, emosional, dan cenderung bias.

Jurnalisme Seharusnya Penjernih

Keberadaan jurnalisme tentunya saat ini menjadi lebih penting dibanding sebelumnya. Ketika semua orang mampu memproduksi dan menyebarluaskan informasi tanpa kontrol, disitulah jurnalis profesional menjadi penyaring, memverifikasi, dan menyampaikan fakta yang utuh.

Jurnalisme bukan lagi sekadar menyampaikan informasi pertama, tapi juga menjadi penyaji informasi yang benar, lengkap, dan adil. Di dalam dunia yang penuh noise, jurnalisme menjadi penjernih informasi, bukan sekadar penyampai kabar.

Jurnalisme bekerja untuk publik karena punya prinsip dan tanggung jawab. Dia bertanya, mengkritik, dan menggali, bukan hanya menyalin dan membagikan. Tanpa jurnalisme yang sehat dan kredibel, masyarakat kehilangan titik temu bersama dalam memahami realitas.

Namun demikian, jurnalisme hari ini berada di persimpangan sulit. Di satu sisi, ia dituntut hadir di ruang digital yang cepat dan kompetitif. Di sisi lain, ia harus mempertahankan integritas dan akurasi. Inilah dilema besar yang dihadapi banyak redaksi saat ini: mengimbangi kecepatan informasi media sosial tanpa kehilangan kedalaman dan etika.

Perubahan cara konsumsi berita juga membawa tantangan besar bagi jurnalisme. Di satu sisi, media dituntut untuk hadir di ruang digital yang serba cepat. Di sisi lain, jurnalisme tetap harus menjaga integritas dan kedalaman informasi. Dalam tekanan kecepatan dan algoritma, jurnalis tidak boleh kehilangan daya jelajah serta keberpihakan pada publik dan kebenaran.

Publik Juga Punya Peran

Kita tidak bisa menggantungkan sepenuhnya tanggung jawab ini kepada jurnalis. Publik juga harus memegang peran penting. Kita sebagai pembaca perlu lebih bijak, lebih sabar, dan lebih kritis. Kita harus selalu bertanya ketika mendapat informasi: Siapa yang membuat informasi ini? Apa motifnya? Apakah ini fakta atau hanya opini? Apakah sumbernya kredibel? Apa dampaknya jika saya menyebarkannya?

Dengan mengklik dan menyebarkan informasi bukan tindakan netral. Setiap klik adalah pilihan ideologis. Ia memperkuat satu narasi dan membungkam narasi lain. Ia bisa memperluas wawasan, atau justru mempersempitnya. Harus diingat bahwa di dalam masyarakat digital, kita bukan lagi hanya konsumen informasi, tetapi juga kurator dan penyebar informasi.

Di tengah kepungan hoaks, disinformasi, dan polarisasi opini, jurnalisme hadir sebagai penjernih, penyedia fakta, konteks, dan verifikasi. Jurnalisme bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga memeriksa, menguji, dan menimbangnya sebelum disampaikan kepada publik. Ia bekerja untuk kepentingan publik, bukan untuk selera algoritma.

Tanpa jurnalisme yang kredibel, masyarakat akan kehilangan rujukan bersama. Kebenaran menjadi relatif. Opini menjadi pengganti data. Percakapan publik berubah menjadi ruang debat yang penuh kebisingan.

Di tengah banjir informasi, publik perlu menjadi pembaca yang bijak dan kritis. Bertanya sebelum percaya, membaca sebelum menyebarkan.

Karena dalam dunia yang serba scroll dan klik, hanya dengan kesadaran kolektif kita bisa menjaga ruang informasi tetap waras dan sehat. Scroll. Klik. Percaya. Tapi jangan berhenti di sana.