Rini Auliani: APBD Jambi Krisis

Rini Auliani: APBD Jambi Krisis

Rini Auliani adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum di Universitas Jambi (Jambicorner.com)

Oleh: Rini Auliani

Jambi - Retaknya fondasi fiskal daerah tidak pernah terjadi dalam semalam, selalu ada jejak panjang yang diabaikan hingga keruntuhan tampak tak terhindarkan.

Beranjak ke Provinsi Jambi, penurunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jambi dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Seperti pada tahun 2024 APBD Provinsi Jambi di angka Rp 5,1 Triliun, di tahun 2025 APBD menjadi Rp 4,6 T, yang mengejutkan di tahun 2026 mendatang APBD Provinsi Jambi dikanrakan hanya  Rp 3,6 T atau turun Rp 1 T sari tahun ini.

Hal ini menegaskan adanya kegagalan membaca arah kebijakan fiskal secara visioner. Angka tersebut bukan sekadar selisih nominal yang turun satu triliun, melainkan sinyal bahwa tata kelola anggaran tidak mampu merespons dinamika ekonomi daerah.

Tonton juga : https://youtu.be/7U7eSU9vSp4?si=X0vL7oWpJeB8Zdxo

Jika kemerosotan ini dianggap wajar hanya karena alasan rasionalisasi atau efisiensi, maka persoalan yang lebih besar sedang ditutup rapat. Krisis anggaran tidak pernah berdiri sendiri, selalu ada akar penyebab yang harus dibongkar.

APBD Cermin Kegagalan dan Keberhasilan Pemerintah

Tidak dapat dipungkiri bahwa APBD mencerminkan kualitas manajemen pemerintahan dalam mengelola pendapatan, belanja, dan proyeksi pembangunan. Ketika anggaran belanja pegawai terus mendominasi dibandingkan belanja publik yang produktif, maka kemampuan daerah untuk bertahan dalam tekanan ekonomi akan terus merosot.

Penurunan drastis anggaran memperlihatkan bahwa ruang fiskal semakin sesak dan tidak lagi mampu menopang agenda pembangunan jangka panjang.

Ketika belanja rutin memakan porsi terbesar, daerah kehilangan keberanian berinovasi dalam meningkatkan kapasitas fiskal.

Tonton juga: https://youtu.be/tH9BdSt1kmM?si=KipArnz_n-exWk_K

Pendapatan Daerah dan Transfer Pusat

Kondisi ini memperlihatkan bahwa ketergantungan terhadap Dana Transfer Pusat masih mendominasi struktur keuangan daerah. Ketika sumber pendapatan asli daerah tidak berkembang secara signifikan, maka setiap perubahan kebijakan nasional akan langsung mengguncang stabilitas fiskal lokal.

Penyusutan anggaran bukan semata akibat penurunan pendapatan, tetapi juga karena kegagalan mengembangkan sektor-sektor unggulan agar berkontribusi optimal terhadap kas daerah.

"Krisis"

Ketika kekayaan sumber daya hanya menjadi angka dalam statistik, maka anggaran hanya tinggal menunggu waktu untuk runtuh.

Persoalan krisis APBD Jambi tidak bisa dikurung dalam kerangka teknis belaka, karena ini menyangkut arah kepemimpinan dalam mengelola prioritas pembangunan.

Menyusutnya kapasitas fiskal membuktikan bahwa strategi penganggaran belum diletakkan pada paradigma produktif.

Banyak daerah dengan sumber daya terbatas berhasil mempertahankan stabilitas APBD karena keberanian mengubah orientasi alokasi anggaran.

Ketika keberpihakan fiskal tidak mengarah pada penguatan basis ekonomi rakyat, maka penurunan anggaran hanya menjadi awal dari krisis sosial yang lebih besar.

Fenomena ini juga mencerminkan lemahnya evaluasi terhadap pengeluaran tahun-tahun sebelumnya yang sering kali tidak menghasilkan dampak signifikan.

Jika proyek bernilai besar hanya meninggalkan infrastruktur setengah jadi atau manfaat yang terbatas, maka alokasi anggaran berubah menjadi beban jangka panjang.

Tonton juga : https://youtu.be/W-5mvqvJWZU?si=QuZNXkS6y_W9zPvS

Setiap rupiah yang tidak dikelola dengan pendekatan manfaat berkelanjutan akan kembali sebagai defisit kesempatan. Pada titik ini, krisis anggaran adalah konsekuensi logis dari abainya perencanaan.

Derasnya kritik publik terhadap penurunan APBD menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap akuntabilitas fiskal semakin meningkat. Namun, kritik tanpa keberanian memperbaiki struktur kebijakan hanya menjadikan krisis sebagai perbincangan musiman.

Pemerintahan daerah membutuhkan pembaruan paradigma yang tidak hanya berkutat pada hitungan neraca, tetapi juga pada keberanian menyisir kebocoran anggaran.

Jika mentalitas seremonial masih menguasai pengambilan keputusan, maka masa depan fiskal akan terus terperangkap dalamketidakpastian.

Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa setiap anggaran yang dialokasikan memberi dampak nyata bagi masyarakat.

APBD Sebagai Tamparan Pemerintah 

Menyusutnya APBD adalah tamparan keras terhadap klaim keberhasilan pembangunan yang sering dielu-elukan tanpa pembuktian faktual. Ketika retorika lebih dominan dibandingkan capaian nyata, maka anggaran akan selalu menjadi korban inkonsistensi kebijakan.

Tonton juga: https://youtu.be/HvD2uHnI4To?si=BtNudDDp_vUAvS8h

Legitimasi pemerintahan daerah akan rapuh jika tidak disertai hasil yang terukur. Apa yang terjadi di Jambi sekaligus menunjukkan bahwa daerah yang kaya sumber daya alam belum tentu memiliki kekuatan fiskal yang sehat.

Pengelolaan sumber daya yang tidak efektif menyebabkan potensi ekonomi tidak bertransformasi menjadi pendapatan fiskal yang signifikan.

Jika ekspor komoditas masih bergantung pada jalur luar daerah, maka nilai tambah otomatis mengalir ke wilayah lain. Dalam situasi seperti ini, penurunan APBD bukan kejutan, melainkan konsekuensi dari pola eksploitasi tanpa kedaulatan ekonomi.

Banyak pihak menilai bahwa krisis anggaran ini dapat diperbaiki dengan strategi optimalisasi pendapatan, tetapi pandangan itu harus dibarengi reformasi tata kelola yang menyeluruh.

Optimalisasi tanpa perombakan kebijakan hanya akan menjadi slogan penghibur. Kelemahan struktural tidak bisa diatasi dengan pernyataan normatif, tetapi dengan langkah konkret yang menyentuh sumber permasalahan.

Penguatan fiskal membutuhkan keberanian untuk mengganti pola lama yang tidak lagi relevan.

Keterpurukan fiskal juga berdampak pada kepercayaan publik terhadap efektivitas pemerintahan daerah dalam mengelola pembangunan.

Ketika anggaran untuk infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan publik terpangkas, maka kualitas hidup masyarakat ikut menurun.

Krisis APBD berpotensi melahirkan stagnasi ekonomi yang lebih luas jika tidak diantisipasi sejak dini. Normalisasi terhadap penurunan anggaran sama saja dengan menerima keterlambatan pembangunan secara permanen.

Jika tulisan opini ini terdapat kesalahan dan kekeliruan kami juga membutuhkan masukan dari para pembaca dan mohon di maaf kan, berbenah itu lebih baik.