Akibat Tata Ruang yang Gagal!!

Akibat Tata Ruang yang Gagal!!

Setiap pembangunan yang mengabaikan tata ruang akan meninggalkan jejak kerusakan di masa depan.

Oleh: Rini Auliani

Pernahkah terpikir, mengapa jalan semakin padat, banjir terjadi di mana-mana, taman kota menghilang satu per satu, dan rumah warga digusur tanpa alasan yang jelas? Apakah semua itu sekadar konsekuensi dari pembangunan, atau justru pertanda bahwa tata ruang kita telah gagal menjalankan fungsinya?. Ketika tata ruang tidak lagi berpihak pada kehidupan, yang menanggung akibatnya bukanlah kebijakan, melainkan masyarakat itu sendiri.

Tata ruang adalah peta kehidupan yang menata keseimbangan antara manusia, lingkungan, dan pembangunan. Ketika tata ruang gagal, yang terganggu bukan hanya estetika kota, tetapi juga kesehatan masyarakat, keselamatan warga, dan arah pembangunan jangka panjang. Tata ruang bukan sekadar urusan garis di peta atau warna dalam rencana kota, melainkan fondasi hukum yang menentukan ke mana manusia melangkah dan bagaimana lingkungan bertahan. Melalui tata ruang yang tertib dan berkeadilan, harmoni antara manusia dan lingkungan dapat terjaga untuk generasi yang akan datang.

Kegagalan tata ruang bukan sesuatu yang lahir dalam semalam. Ada proses panjang yang diabaikan, ada kepentingan yang lebih dominan dari keadilan ruang, dan ada kebijakan yang tidak berjalan sesuai rencana. Kota-kota besar di Indonesia sering kali menjadi contoh nyata. Ketika izin bangunan diberikan tanpa perhitungan daya dukung lahan, dampaknya bukan hanya kemacetan dan banjir, tapi juga menurunnya kualitas hidup warga. Setiap hektar lahan yang berubah tanpa perencanaan matang berarti ada ruang hidup yang hilang, ada udara bersih yang berkurang, dan ada generasi yang kehilangan ruang bermainnya.

Perencanaan tata ruang yang lemah sering kali berpangkal pada dua hal: ketidaktegasan penegakan hukum dan lemahnya koordinasi antarinstansi. Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sering hanya menjadi arsip, bukan pedoman nyata. Padahal di balik dokumen itu terdapat amanat untuk menata kehidupan manusia secara berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menegaskan bahwa setiap ruang harus dimanfaatkan secara berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.  

Memahami tata ruang bukan hanya soal mengenal aturan dan wilayah, tetapi juga membaca realitas keadilan. Tata ruang merupakan hukum yang hidup, menata keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia terhadap lingkungannya. Hak warga atas lingkungan sehat, udara bersih, dan ruang publik harus dijamin oleh hukum tata ruang yang berfungsi. Ketika hak-hak itu dilanggar akibat tata ruang yang buruk, negara wajib hadir memperbaikinya. Tata ruang yang adil adalah cermin dari negara yang menghormati warganya. Melalui tata ruang yang berpihak pada keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat dapat tumbuh seiring dengan kelestarian lingkungan.

Penting untuk diingat bahwa tata ruang bukan sekadar urusan teknis insinyur atau arsitek. Ia adalah keputusan politik yang berdampak hukum. Misalnya ketika pemerintah daerah salah menentukan zona industri di dekat kawasan pemukiman, konsekuensinya bisa panjang: pencemaran udara, kebisingan, konflik lahan, dan gangguan kesehatan masyarakat. Di sinilah pentingnya akuntabilitas. Setiap kebijakan tata ruang harus melalui proses partisipatif, transparan, dan berbasis data yang akurat.

Tata ruang yang baik seharusnya menyeimbangkan tiga unsur: pembangunan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Jika salah satu diabaikan, keseimbangan itu akan runtuh. Tata ruang yang gagal pada dasarnya adalah kegagalan negara menata masa depan warganya. Melihat kondisi hari ini, kita perlu mengakui bahwa tata ruang di Indonesia masih jauh dari ideal. Banyak kebijakan yang bersifat reaktif, bukan preventif. Sebagai contoh, normalisasi sungai baru dilakukan setelah banjir melanda, jalan baru dirancang ketika kemacetan sudah parah, dan zonasi disusun ulang setelah lahan habis. Padahal, hukum tata ruang seharusnya bekerja sebelum masalah muncul, bukan setelah kerusakan terjadi. Hukum yang ideal adalah hukum yang mampu mencegah, bukan sekadar menghukum.

Indonesia membutuhkan tata ruang yang berpihak pada manusia, bukan hanya pada modal. Pembangunan tanpa arah tata ruang yang jelas sama saja seperti menulis masa depan dengan tinta kabur. Setiap keputusan ruang harus menempatkan manusia sebagai pusatnya, bukan sekadar angka dalam proyek pembangunan. Ketika ruang gagal ditata, manusia kehilangan arah hidupnya. Ketika tata ruang dijalankan dengan benar, kesejahteraan bukan lagi mimpi, melainkan hasil dari kebijakan yang adil dan terencana.

Penulis: Rini Auliani (Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Jambi).