Bangsa ini wajib mengapresiasi pandangan ataupun pemikiran besar dan mulia dari seorang Soekarno yang dengan ungkapannya telah menghantarkan seluruh rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan.
Pemikiran dengan tidak mengandung kalimat yang bersifat ambigu hingga tidak melahirkan interpretasi keliru yang disertai atau diiringi dengan cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran menyangkut pengertian frasa ke depan pintu gerbang kemerdekaan tersebut, dengan analog bahwa bangsa ini belum masuk kedalam ruang defenisi Merdeka yang sebenarnya.
Bahkan dengan proklamasi itu sendiri duniapun mengakui sejak saat itu bangsa Indonesia telah merdeka, bebas dari segala bentuk penjajahan ataupun kolonialisasi. Pengakuan tersebut secara physik sepenuhnya dapat dibenarkan, karena sampai saat ini bangsa ini tidak lagi tertindas oleh segala macam bentuk penjajahan oleh bangsa lain.
Akan tetapi beban bangsa itu belum pernah sepenuhnya berakhir, bangsa ini terkesan sedang berhadapan dengan sejumlah pribadi pemilik pandangan yang salah dalam menterjemahkan arti dari kata merdeka itu sendiri, atau menjadikan kata-kata “Kekuasaan dan Penjajahan” yang dianggap sebagai suku kata yang bersifat ambigu ataupun multy tafsir.
Praktek kekuasaan yang membuat tak lagi dapat dibedakan antara kolonialisme dalam arti yang sebenarnya, dengan kolonialisme tersembunyi yang telah menempatkan bangsa ini berada pada posisi bak pepatah melayu “Keluar dari Mulut Harimau masuk ke Mulut Buaya”.
Secara de jure dan de facto bangsa ini telah merdeka dari kaum penjajah yang berasal dari bangsa lain akan tetapi terkesan masih terjajah oleh belenggu pikiran-pikiran bangsa sendiri yang menderita cacat logika dan cacat nalar serta mengalami sesat pikiran, suatu pemikiran yang terbelenggu oleh kepentingan dari gaya hidup stratifikasi sosial tinggi (Hight Class).
Penjajahan oleh bangsa sendiri yang berdalihkan dengan kata demi kepentingan pengabdian dengan memperalat sumpah jabatan sebagai kalimat sakti yang disakralkan sebagai pemberi semua jenis imunitas (kekebalan) yang begitu istimewa, walau untuk itu harus mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi untuk memenuhi napsu syahwat birahi kekuasaan.
Walau tidak dapat disimpulkan secara ilmiah bahwa pepatah tersebut adalah penjabaran atau interpretasi dari adagium (pepatah) yang menganggap manusia adalah binatang buas atau yang digambarkan sebagai srigala bagi manusia lainnya, sebagaimana ungkapan pendapat Thomas Hobbes (1588-1679) dengan konsep Homo Homini Lupusnya. Hal senada juga dikemukakan oleh Ernst Haeckel, seorang ahli biologi Jerman (1834-1919) yang meyakini bahwa manusia sejajar dengan hewan yang menyusui.
Serta pandangan dari tokoh utama filsafat eksistensialisme, (Friedrich Nietzcsche (1844-1900), menyebut manusia memiliki insting-insting mirip hewan yang sifatnya tak pernah puas dan selalu ingin berkuasa.
Kekuasaan yang mampu membuat manusia begitu mudah melupakan arti budi pekerti dan hati nurani, serta merasa kebal hukum dengan berada dalam suatu barisan dan memiliki pengawal (backing) hingga hingga hukum tidak lagi dipandang sebagai alat kontrol sosial (Law as a tool of social engineering) atau identik sekali dengan prilaku binatang yang diperalat atau menjadi budak dari kebuasan napsu birahi dan syahwat serta naluri kebinatangannya.
Satu-satunya ilmuan yang menilai manusia dari sisi hakikat manusia yang sebenarnya adalah Rene Descartes (1596-1650), filsuf asal Perancis, yang mengedepankan pandangan terhadap dua unsur bathiniah manusia (pikiran) yang notabenenya tidak dimiliki oleh binatang.
Rene dengan pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir. Dengan berpikir, maka membuktikan keberadaannya sebagai manusia, atau dengan ungkapan: “cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada)”.
Binatang juga memiliki otak seperti manusia akan tetapi tidak memiliki pikiran, bahkan manusia mengambil menggunakan otak udang berada ditempat yang sama dengan kotorannya yaitu sama-sama berada di kepalanya, sebagai suatu perumpamaan tentang otak yang tidak dipergunakan untuk berpikir lebih jernih guna mempertahankan status sosial sebagai makhluk yang paling sempurna serta yang paling mulia.
Rene Descrates menilai manusia dari sudut pandang hakikat manusia merdeka dalam arti yang sebenarnya. Bukan manusia yang menjadi hamba sahaya naluri kebinatangan. Manusia yang tidak menyediakan pundaknya sebagai tunggangan nasfu syahwat ataupun birahi kekuasaan.
Manusia yang tidak berkamuplase dengan wajah yang dipenuhi hiasan kemunapikan dan tidak memiliki pemikiran yang bersifat ambigu dalam menjabarkan arti Kekuasaan yang dilengkapi dengan pengertian multy tafsir terhadap hak dan kewenangan serta Kedudukan dan Jabatan.
Manusia yang tidak menjadikan Sumpah Jabatan sebagai kalimat sakti yang disakralkan dan tidak menjadikan Hukum sebagai alat guna memperoleh dan mempertahankan Kekuasaan atau sebagai jalan mendapatkan kekayaan guna memenuhi gaya hidup demi penghambaan diri atau pengabdian yang berasal dari pandangan keliru dalam menterjemahkan stratifikasi sosial.
Manusia yang tidak pernah berpikir untuk memperkosa hukum yang berkerjasama dengan sejumlah manusia yang berada dalam suatu barisan dan bersedia untuk melacurkan diri serta tampil dengan wajah kemunafikan atau menjadikan slogan-slogan pengabdian dan kedekatan kekerabatan sebagai topeng-topeng penghias keindahan raut wajah pengkhianatan terhadap harkat dan martabat serta kehormatan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Suatu pandangan yang menkultuskan dan mendewakan kekuasaan, dengan keyakinan bahwa dengan kekuasaan maka akan didapat kekayaan serta dengan kekuasaan akan dapat membentuk barisan pengawal (backing) yang setiap saat akan tetap setia menjalankan perintah sang majikan. Dengan begitu maka hukum beserta segala instrumentnya beserta dengan kekuasaan pimpinan dapat dilumpuhkan dan dijadikan sebagai alat mempertahankan kekuasaan.
Hukum dengan segala instrumentnya bahkan kekuasaan pemimpin serta kekuasaan pemegang kedaulatan tertinggi di negara demokrasi yang berstatus negara hukum tidak lagi dipandang sebagai suatu alat kontrol sosial (law as a tool of social engineering).
Pemikiran yang sukarela melacurkan diri demi sebuah keinginan bukan demi untuk kebutuhan, cara berpikir yang telah melupakan bahwa harkat dan martabat serta kehormatan manusia tidak semata-mata terletak pada kekayaan dan kekuasaan serta tidak akan pernah setara apalagi untuk disejajarkan dengan harkat dan martabat binatang.
Cara berpikir yang melacurkan diri demi untuk sebuah bangunan rapuh keinginan gaya hidup, yang telah melupakan bahwa tindakan pelacuran terhadap nilai-nilai kemanusiaan jauh lebih kotor dan busuk serta hina jika dibandingkan dengan pelacur dalam artian yang sebenarnya, atau dengan kata lain, pelacur status sosial tidak lebih terhormat jika dibandingkan dengan pelacur dalam artian yang sebenarnya sebagai sampah masyarakat.
Diantara tindakan atau sikap dari praktek pelacuran status sosial adalah adanya suatu pemikiran dengan adanya prinsip pandangan diri agar menguntungkan, mumpung selagi masih menjabat mumpung masih berkuasa, serta mumpung rakyat dan hukum masih percaya, mumpung masih berada di lingkaran barisan pelacur-pelacur sosial masih bersedia bertindak sebagai pengawal setia (backing).
Jika disimak secara seksama uraian prilaku tersebut merupakan suatu siklus pandangan yang agak unik dan lucu, bagaimana sebagai pengidap penyakit sosial prilaku kebinatangan berpikir membinatangkan manusia sebagai sama-sama pengidap penyakit yang sama (artinya secara ilmiah pandangan Hobbes dapat dibenarkan).
Pribadi-pribadi rapuh dan keropos bak sebuah gerobak sorong yang tanpa dinding dan tanpa lantai, pribadi yang lupa bahwa sebagai makhluk mulia seharusnya mampu melihat dengan pikiran jernih serta dengan akal sehat bagaimana mungkin sebuah gerobak dengan kondisi seperti itu akan mampu membawa isi apapun bentuknya, baik itu kekayaan alam atau yang lebih dikenal dengan sebutan sumber daya alam maupun membawa keingingan manusia.
Kondisi yang menggambarkan bahwa telah terjadi kerusakan parah pada organ pembeda antara manusia dengan binatang sebagaimana pendapat para ahli atau ilmuan sebagaimana diatas, merupakan suatu pikiran yang dipenuhi oleh bisikan yang bersumber dari kecacatan logika dan kecacatan nalar serta kesesatan cara berpikir.
Pemikiran yang telah melupakan pandangan terhadap letak dan guna serta fungsi roda, bahwa sehebat dan sekencang apapun putaran roda mustahil akan merubah badan gerobak dan jalanan atau tidak mungkin akan merubah kedudukan rel dan badan kereta api. Roda tetaplah terjepit berada diantara keduanya. Kereta api dan gerobak bagaimanapun bentuk physiknya tetaplah sebagai alat yang dikendalikan oleh pikiran untuk mencapai tujuan.
Suatu siklus kegunaan dan fungsi alat pemenuh kebutuhan, tanpa rel atau jalan dan tanpa badan kereta api atau gerobak maka roda tidak lebih dari seonggok rongsokan menunggu kedatangan tangan-tangan lemah sang pemulung, dan pada akhirnya nanti semuanya akan kembali pada kepentingan dan posisi serta kegunaan masing-masing.
Jika siklus tersebut diumpamakan dengan dunia binatang, maka sangat mirip dengan fungsi dan kegunaan anjing yang menggonggong lantang sebagai perwujudan dari kewajiban dari pelaksanaan tugas guna menjaga kepentingan sipemelihara atau pemberi sepotong tulang sisa makanan sang tuan pemelihara.
Sebagai binatang piaraan atau sebagai penjaga yang tidak mampu mempergunakan otaknya untuk berpikir, Anjing rela atau tidak pernah berpikir guna menyadari bahwa yang diberikan oleh sang tuan pemelihara hanyalah sepotong tulang sisa dari makanannya dan tidak akan pernah akan memberikan sepiring nasi dengan nilai yang sama dengan makanan sang tuan pemelihara.
Walau sama-sama tidak dapat berpikir akan tetapi tidak dapat disamakan antara anjing dan gerobak. Sebagai benda mati gerobak tidak memiliki otak apalagi akal dan pikiran serta perasaan, jadi bagaimana mungkin sebuah gerobak cacat akan menjanjikan sesuatu keadaan bernuansahkan alam syurgawi, dengan kata lain gerobak hanyalah sebagian kecil dari alat yang dipergunakan dan anjing, harimau serigala serta buaya dengan kodratnya masing-masing tetaplah binatang, jadi tidak dapat dinyatakan sebagai penyandang gelar pelacur status sosial.
Sepertinya dari gambaran diatas dapat disimpulkan gerobak lebih mulia daripada manusia yang dipandang setara atau disejajarkan binatang buas. Kiranya bangsa ini tidak lagi membutuhkan azaz dan kaidah atau norma hukum pembuktian guna untuk membuktikan bahwa gerobak dan anjing hanyalah sebuah alat dari pemenuhan keinginan birahi nafsu syahwat pemiliknya.
Hanya tinggal bagaimana hukum pembuktian dapat membuktikan bahwa Pelacur Status Sosial adalah juga merupakan sosok pengkhianat ruh-ruh atau semangat Proklamasi atau pengkhianat bangsa dan negara, dan tidak lagi diberi gelar kehormatan dengan sebutan Koruptor dan tetap berada dalam pembuktian bahwa hukum terkadang tidur tetapi hukum tidak pernah mati (Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur).
Oleh: Jamhuri (Direktur Eksekutif LSM Sembilan)