Jurnalisme Tak Akan Mati

Jurnalisme Tak Akan Mati

Oleh: Herri Novealdi

Dosen UIN STS Jambi dan mantan jurnalis

JAMBICORNER.COM, JAMBI- Jurnalisme tak akan mati di tengah gempuran media sosial yang semakin hari makin ramai seperti, live TikTok, ledakan konten digital, dan tumbuhnya aktivisme di ruang maya, media massa konvensional menghadapi pertanyaan besar, masihkah ia relevan dan dipercaya. Dahulu, media menjadi satu-satunya pengendali wacana. Kini, ruang itu telah direbut oleh publik sendiri.

Siapa pun kini bisa melakukan siaran langsung, menyampaikan pendapat, bahkan membongkar ketimpangan sosial hanya bermodalkan ponsel di genggaman tangan. Tren ini tak bisa diremehkan dan tak harus serta merta dipandang negatif.

Menurut data We Are Social awal 2025, jumlah pengguna internet di Indonesia diperkirakan mencapai 212 juta jiwa, atau sekitar 74% dari total populasi 285 juta. Ini menunjukkan peningkatan 8,7% dari tahun sebelumnya. Dari berbagai platform media sosial, TikTok mencatat angka mencolok: sekitar 100 juta pengguna aktif bulanan, mayoritas berusia 18- 35 tahun.

Beberapa faktor mendorong pertumbuhan pesat TikTok di Indonesia, antara lain penetrasi internet dan smartphone yang semakin luas, serta fitur interaktif seperti live streaming, duet, dan tantangan yang mendorong partisipasi dan membangun komunitas aktif. Kemudahan membuat konten video pendek, serta tersedianya filter dan efek menarik, turut menjadi daya tarik utama.

Kini, fitur live streaming telah berevolusi. Ia bukan lagi sekadar hiburan, tapi telah menjadi medium ekspresi, advokasi, bahkan bentuk jurnalisme warga. Banyak aktivis, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga rutin berdiskusi soal politik, pendidikan, atau HAM lewat media sosial. Demokratisasi informasi benar-benar terjadi, namun membawa tantangan serius bagi media arus utama.

Meningkatnya kebebasan berekspresi di media sosial adalah kabar baik bagi demokrasi. Namun tanpa diimbangi literasi digital, ini bisa menjadi bumerang. Konten viral sering kali lebih menarik perhatian ketimbang konten informatif. Di sinilah peran media massa sangat penting: bukan sebagai pesaing, melainkan sebagai penyeimbang dan penjaga akurasi informasi.

Walaupun beberapa media massa konvensional masih memiliki nama besar dan dipercaya sebagai rujukan, secara umum mereka tak bisa lagi hanya mengandalkan sejarah. Media harus kembali menjadi jurnalisme yang bernyawa: berpihak pada publik, menyampaikan fakta secara akurat, dan menjaga etika dengan konsisten.

Di tengah banjir informasi, masyarakat memerlukan rambu yang jelas. Jurnalisme berkualitas dapat hadir melalui pendekatan jurnalisme konstruktif: tidak hanya mengungkap masalah, tapi juga memberi konteks dan solusi. Fakta saja tidak cukup; fakta harus dijelaskan, dipertanyakan, dan diberi makna. Di sinilah letak nilai tambah media dibandingkan konten live streaming yang spontan dan kadang tanpa filter etika.

Media juga harus menjaga relasinya dengan publik. Jangan memosisikan pembaca sebagai konsumen pasif. Libatkan mereka dalam proses jurnalistik. Dengarkan keluhannya, tanggapi komentarnya, dan buka kanal interaksi langsung. Jurnalisme komunitas bukan sekadar tren, tetapi tuntutan zaman.

Aktivisme digital dalam bentuk petisi online, live streaming, maupun diskusi terbuka di ruang virtual menunjukkan bahwa publik rindu pada media yang mau mendengar, bukan sekadar memberi tahu. Mengintegrasikan aspirasi digital ke dalam ruang redaksi adalah langkah penting untuk menjaga relevansi media.

Media memang tak perlu ikut joget di TikTok untuk eksis. Tapi media bisa memanfaatkan platform itu dengan gaya khasnya: menyampaikan berita yang visual, ringkas, namun tetap berpegang pada prinsip jurnalisme. Adaptasi tidak berarti mengorbankan integritas.

Model bisnis juga harus disesuaikan. Di tengah dominasi iklan digital oleh raksasa seperti Google dan Meta, media perlu berinovasi: dari model langganan, donasi pembaca, kolaborasi jurnalisme publik, hingga pendekatan kreatif lainnya. Satu hal yang pasti: jangan jual kepercayaan hanya demi klik.

Media sosial membuka ruang ekspresi. Tapi media massa seharusnya memberikan arah. Jika media konvensional mampu merespons tren live TikTok, memahami semangat kebebasan berekspresi, dan bersinergi dengan aktivisme digital, maka ia tidak akan tergilas zaman.

Kepercayaan tidak diwariskan. Ia diperjuangkan. Lewat ketekunan, kejujuran, dan kehadiran yang konsisten. Di tengah suara rakyat yang membanjiri ruang digital, jurnalisme bernyawa tidak hanya mencatat, tapi turut berdiri dan bersuara terutama bagi mereka yang tak terdengar.

Dan itulah pekerjaan rumah besar bagi media massa hari ini.

Penulis adalah Dosen UIN STS Jambi dan mantan jurnalis. Di samping beraktivitas sebagai akademisi, juga menjadi Ahli Pers Dewan Pers dan aktif dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan jurnalistik. Kini tinggal di Jambi.