Oleh: Jamhuri
Direktur Eksekutif LSM Sembilan
JAMBICORNER.COM, JAMBI- Kebijakan pembangunan dengan skema multiyears yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi Jambi bukan sekadar soal angka dan anggaran. Lebih dari itu, ia menjadi panggung uji akuntabilitas moral dan rasionalitas berpikir dua fondasi utama kebijakan publik yang baik. Nilai proyek yang menyentuh angka fantastis, Rp 1,5 triliun, justru menjadi simbol dari kekeliruan berpikir yang mencederai asas pemerintahan dan nilai-nilai hukum yang seharusnya menjadi rujukan utama.
Tatkala daerah lain menimbang ulang prioritas pembangunan di tengah hantaman pandemi Covid-19, Jambi justru melangkah terburu-buru. Kebijakan multiyears yang diambil terkesan gegabah, didorong lebih oleh nafsu kekuasaan ketimbang kehati-hatian teknokratis. Indikasinya terlihat jelas: pola penganggaran tidak berangkat dari kebutuhan strategis daerah, melainkan menyerupai pelunasan utang politik kepada kelompok oligarkis di lingkaran kekuasaan.
Dalam perspektif filsafat klasik, Plato membagi jiwa manusia ke dalam tiga bagian, salah satunya adalah logystikon, yakni kemampuan bernalar. Ironisnya, logika rasional ini justru absen dari pengambilan kebijakan yang seharusnya dijalankan oleh para pemegang mandat publik. Alih-alih menjunjung nalar, para pembuat kebijakan terjebak dalam pertunjukan irasionalitas yang menjadikan proyek multiyears sebagai etalase kecacatan logika. Kebijakan ini tidak bersandar pada prinsip AUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik) sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014.
Padahal, PP No. 12 Tahun 2019 telah menggariskan prinsip-prinsip tata kelola keuangan daerah (tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab). Sayangnya, alih-alih menjadi pedoman, prinsip-prinsip itu justru dikangkangi. Pengelolaan proyek besar ini lebih memperlihatkan wajah politik oligarkis daripada semangat pelayanan terhadap kepentingan rakyat banyak.
Tak hanya dalam penganggaran, aspek perencanaan pembangunan pun menunjukkan problem serupa. Feasibility Study (FS), Amdal, hingga Andalalin yang seharusnya menjadi titik tolak justifikasi teknis, terlihat lebih sebagai formalitas prosedural. Dokumen-dokumen itu dijadikan legitimasi semu untuk menopang proyek ambisius yang kebutuhan dan urgensinya bagi daerah pun belum terukur dengan baik.
Dalam dunia logika, hal semacam ini disebut fallacy (kesesatan berpikir) . George F. Kneller menyebutnya sebagai kegagalan dalam mendefinisikan dasar dan metode berpikir yang tepat. Dalam konteks ini, Provinsi Jambi telah memberikan contoh nyata bagaimana logika kebijakan publik bisa terseret dalam retorika kosong, tanpa mampu membangun kesimpulan dari premis-premis yang benar, sebagaimana ditegaskan pula oleh Munir Fuady.
Kegagalan kebijakan ini jelas bukan semata soal teknis dan konstruksi fisik. Lebih mendasar, ia mencerminkan kegagalan dalam cara berpikir dan memahami hakikat pemerintahan itu sendiri- yakni untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Kebijakan multiyears yang digadang-gadang memberi nilai tambah bagi daerah, justru menjelma menjadi alat pertunjukan kekuasaan yang menelanjangi wajah asli pemerintahan Homo Homini Lupus- manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Saat kebijakan dijadikan alat memuaskan birahi kekuasaan, yang lahir bukan pembangunan, melainkan konflik, kegaduhan, dan benih disintegrasi tata kelola. Dalam titik ini, proyek multiyears bukan hanya menggerus APBD dalam jumlah besar, tetapi juga merusak nilai moral dan etik dalam sistem pemerintahan.
Jadi, kebijakan multiyears di Provinsi Jambi adalah potret dari kegagalan berpikir rasional, kegagalan dalam menafsirkan AUPB, dan kegagalan menjadikan hukum sebagai summum bonum nilai tertinggi dalam tata kelola pemerintahan. Jika tidak segera dikoreksi, proyek ini hanya akan menjadi warisan pahit dari absurditas kebijakan sesat pikir yang terus dilanggengkan dari satu rezim ke rezim berikutnya.