JAMBICORNER.COM, JAMBI - Menggali sejarah sebuah karya seni tulisan kuno yang dituang di atas kain oleh perajin batik, sehingga menjadi sebuah karya seni yang bernilai mahal, bersejarah dan unik pada saat ini.
Batik Incung. Menyebut karya seni Batik Incung satu ini, siapa yang tidak mengenal karya seni ahli waris budaya kuno atau warisan budaya tak benda Indonesia itu. Batik Incung bahkan sudah dikenal dan tersebar luas di seluruh penjuru negeri di Indonesia.
Sejarah dari lahirnya Batik Incung ini memiliki kisah dan perjalanan yang panjang. Ide penuangan Askara Incung pada Batik ini ditemukan oleh seorang wanita yang berjiwa seniman yang tinggal di Kota Jambi.
Batik Incung sendiri, pertama kali lahir di tanah Sakti Alam Kerinci yang merupakan daerah sebelah barat dari Provinsi Jambi tepatnya di perbatasan Sumatera Barat. Batik Incung juga sebagai wadah mengabadikan tulisan-tulisan kuno dari masyarakat Suku Kerinci terdahulu yang merupakan slah satu suku tertua di dunia.
Ida Maryanti (62 tahun) merupakan Pensiunan ASN Dinas Perindustrian Provinsi Jambi, menceritakan perjalanannya dalam menemukan gagasan ide untuk mencetuskan Aksara Incung Kerinci sebagai trend busana batik yang saat ini menjadi budaya bersejarah di tingkat Nasional.
Ida mengatakan, kecintaan dirinya terhadap seni batik berawal dari pekerjaan orang tuanya. Sang ibu pada masa itu sebagai pengrajin batik yang sukses di tanah Bengkulu. Alasan berdirinya usaha batik di Bengkulu itu, lantaran ayah Ida pada masa itu di tahun 1980 berpindah dinas ke Bengkulu, yang sebelumnya dari tahun 1950 dinas di Perindustrian Provinsi Jambi.
Pada saat itu Ida baru tamat di bangku pendidikannya di salah satu SMA Jambi, kemudian ia melanjutkan perkuliahannya di Yogyakarta. Ida berkuliah di Akademi Perindustrian, Jurusan Teknik Kimia.
Pada Tahun 1981 saat Ida tengah menjalankan perkuliahannya, sang ibu menghampirinya ke Jogjakarta. “Ibu pada saat itu (datang ke Yogyakarta/red) ingin memperdalam ilmu membatiknya di Balai Batik Yogyakarta,” bebernya.
Melihat dan mempelajari bagaimana ibunya membatik, Ida malah tertarik untuk belajar membatik. Tak butuh waktu lama ida sudah mulai paham bagaimana tata cara membatik, meski belum begitu lihai dalam memberikan motif-motif karya seni diatas kain.
“Batik ibu saya pada masa itu adalah kaligrafi, itu adalah batik Besurek Bengkulu, saya melihat pesanan ibu saya saat itu sangat banyak, disitu juga menumbuhkan ketertarikan saya untuk terus mempelajari cara membatik,” bebernya.
“Namun ibu saya sendiri agak sedikit kurang pintar mendesain, dan saya mencoba untuk mendalam cara batik, dan akhirnya saya keenakan membatik,” bebernya.
Pada Tahun 1986, Ida melepas masa lajangnya, ia menikah dengan pemuda kelahiran Jambi, yakni Yulnomo Satria. Silam beberapa waktu pernikahan, suami Ida melanjutkan perkuliahannya di Yogyakarta.
Memiliki jarak bersama sang suami, Ida mendapat musibah dari sang pencipta, buah hatinya yang pertama, memilih untuk tidak bersama Ida dan suami untuk selamanya.
Pada saat itu ia memutuskan untuk tinggal bersama sang suami di Yogyakarta, selain mendampingi sang suami yang melanjutkan perkuliahannya, Ida juga mendalami ilmu membatiknya di tempat sang ibu belajar membatik sebelumnya.
“Jadi di situ saya pernah bekerja di balai batik Jogja pada tahun 1987, pada waktu itu,” bebernya.
Pada tahun 1991, Ida kembali ke Bengkulu di tempat usaha ibu nya. saat itu lh Ia melihat banyak perubahan dan kemajuan pada usaha ibu. Tak hanya itu ia melihat para Disabilitas ikut bekerja membantu di tempat usaha itu.
“Jadi pada saat itu saya tanya ibu, kanpa ini banyak orang difabel?, ibu saya menjawab itu adalah muridnya di SLB, dan menjadi pekerja ibu saya. Disitu saya terkejut, artinya orang difabel mampu untuk membatik,” bebernya.
Tepat di pada bulan Juni 1992, suami Ida kembali ke dinas di Jambi usai menyelesaikan perkuliahannya di Yogyakarta, dan Ida sendiri diminta untuk ikut suaminya ke Jambi. Pada waktu itu, Ida sudah menjadi ASN, ia bertugas di dinas Perindustrian di Provinsi Jambi.
“Pada wktu itu Kepala Kanwilnya adalah pak Jamil Usman. Pada tahun itu saya di tes oleh pak Usman, ia mengatakan, buk Ida kabarnya pernah bekerja di balai batik ya?, ia saya bilang. Kalau kaya itu saya suruh ngajar-ngajar batik bisa dong?. bisa dong jawab saya,” terang Ida dalam menggambarkan ceritanya pada saat berkomunikasi dengan Jamil Usman.
Pada Tahun 1992, Ida diminta oleh Jamil Usman untuk bertugas di Kabupaten Kerinci, pada waktu itu belum ada pemekaran Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh.
“Pada saat itu saya berpikir kalau museum itu adalah segala ilmu, Jadi saya coba pergi ke museum Siginjei Jambi, disitu saya menemukan salah satu buku, dan buku itu adalah, Aksara Incung Jambi, tulisannya tulisan Incung Kerinci,” bebernya.
“Saya telusuri lagi, rupanya itu adalah Incung Kerinci, ini adalah tulisan kuno yang ada di Provinsi Jambi ditemukan berabat-abat yang lalu, ketua dalam penulisan itu, Haji Jubir Bakti pada tanggal, 29 April 1992 (terbit buku Incung Kerinci),” paparnya.
Menemukan buku kuno yang unik, Ida terinspirasi pada saat dirinya berada di Yogyakarta ada tulisan Honocoroko yang dituangkan di dalam sehelai kain batik.
“Karena pengalaman kita itu harus ATM juga, Amati, Tiru dan Modifikasi. terbuka pikiran saya bahwa tulisan ini (Askara Incung) akan saya sterilkan menjadi desain motif batik pada saat saya mengajar batik di Kerinci,” bebernya.
“Dan ini lh awalnya lahirnya desain motif batik di salah satu kabupaten yaitu Kabupaten Kerinci,” bebernya.
Pada tanggal 17-23 Juni 1993 Ida ditugaskan oleh Jamil Usman untuk mengajar batik di Kabupaten Kerinci, dengan lebih kurang sebanyak 15 orang Peserta. Pelatihan pertama itu bertempat di Gedung Nasional Kerinci (Sebelum pemekaran), atau di samping barat Lapangan Merdeka Kota Sungai Penuh saat ini.
“Salah satu peserta yang aktif saat ini adalah Deli yang punya usaha Puti Kincai. Dan setelah itu saya mengajarkan itu, pada Bulan Mei 1994 kalau tidak salah, di bulan Maret itu ada pesan disana, pada waktu itu kita bersama pak Jamil Usman bersama ibu Lili Sayuti, juga bersama Ibu Bambang pada waktu itu sebagai Bupati Kerinci,” bebernya.
“Kemudian terkenal lah batik Jambi dengan motif Incung Kerinci, mulai saat itu lah batik Jambi dengan Incung Kerinci Terkenal,” bebernya.
Melihat perkembangan batik Incung Kerinci yang kian terkenal, membuat dan menimbulkan semangat buat Ida untuk terus mengembangkan ilmu yang dipelajarinya dari Yogyakarta itu.
“Saya selalu memberikan pelatihan di sana, kalau tidak salah terakhir itu pada tahun 2015 disana, saya mengajarkan desain sampai teknik pewarna juga,” bebernya.
Disisi lain, saat ini Ida lebih memfokuskan dirinya untuk menumbuhkan generasi penerusnya bersama anak-anak difabel di Jambi, ia beranggapan, jika anak-anak difabel ini mampu untuk menjadi seperti masyarakat normal pada umumnya.
“Saya masih ingat dan melihat langsung, bagaimana kesuksesan ibu saya dalam membatik bersama anak difabel pada saat itu,” bebernya.
Usaha yang didirikannya yang melibatkan anak difabel itu, kini juga mendapat respon dari istri Gubernur Jambi Hj. Hesti Haris merupakan Ketua TP PKK Provinsi Jambi.
“Sejauh ini, ibu Hj. Hesti Haris juga melirik, dan peduli dengan anak-anak difabel kebetulan antara saya dan ibu Hesti komunikasinya cukup baik,” bebernya.
Ia meyakini jika suatu saat nanti anak-anak difabel ini akan memberikan yang terbaik untuk Provinsi Jambi kedepannya.