Pengelolaan dan Pemanfaatan Air sebagai salah satu anugerah Tuhan Yang Maha Esa oleh Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Mayang Kota Jambi sepertinya kembali perlu mendapatkan perhatian serius Aparat Penegak Hukum agar benar-benar terwujud tujuan utama hukum.
Abikat hukum yang merampas kemerdekaan dua rezim direksi terhadulu sepertinya masih belum mampu menimbulkan efek jera, yang dapat melahirkan karakteristik managerial dan leadership yang benar-benar memiliki kwalitas dan etos kerja dengan kadar profesionalitas yang terukur tanpa harus terkontaminasi system budaya Koruptive.
Dimana disinyalir bahwa titik fokus pada permasalahan yang terjadi pada Perusahaan Daerah yang dimaksud masih berada dipusaran anggaran menyangkut tingkat kebocoran air dan persoalan Pajak Air Permukaan, yang terkesan menjadi lahan subur bagi praktek penggunaan kesempatan dan kekuasaan untuk disalahgunakan.
Berbagai dalih dan dalil yang dicanangkan dan dilaksanakan oleh unsur pimpinan PDAM Tirta Mayang Kota Jambi antara lain pembentukan Satuan Tugas Penanganan Kehilangan Air pada beberapa waktu yang lalu tepatnya selama anggaran 2023 dinilai sebagai undangan resmi bagi attensi hukum untuk berbuat dan bertindak demi kemaslahatan umat manusia, khususnya warga Kota Jambi.
Sepertinya ada upaya dari oknum tertentu agar terlihat ilmiah dan intelektual serta elegant PDAM Tirta Mayang menggunakan kalimat yang diadopsi dari bahasa Inggris yaitu Task Force Non Revenue Water (Task Force NRW) yang secara harfiah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia berarti Satuan Tugas Kehilangan Air. Bahkan Keputusan Direksi tersebut tidak mencantumkan kalimat tentang tembusan yang disampaikan kepada Walikota Kota Jambi sebagai Kepala Daerah.
Perlu pembuktian lebih lanjut terhadap frasa pada Keputusan Direksi PDAM Tirta Mayang Nomor 07 tahun 2023 tertanggal 17 Januari 2023, agar dapat diketahui secara pasti sejauh mana efektivitas dan manfaata dari penggunaan noumentclateur dan kekuatan mengikat keputusan dimaksud dapat dipertanggungjawabkan dihadapan hukum.
Dengan menyuguhkan kwalitas dari kebijakan publik yang dimaksud telah sesuai dengan azaz dan norma atau kaidah hukum ataupun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau dengan kata lain merupakan suatu kebijakan yang tidak meninggalkan preseden jelek atau menghilangkan paradigma lama dengan penilaian bahwa PDAM Tirta Mayang Kota Jambi sebagai mesin industri penghasil koruptor.
Hukum harus menguji apakah kebijakan tersebut benar-benar telah terlepas dari pemikiran yang mengalami cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran yang berpikir untuk merekayasa fakta administrasi dan mark-up harga terhadap indikator pemenuhan kebutuhan pelaksanaan kegiatan satgas yang dimaksud.
Misalnya penetapan harga “Kopi Bubuk dengan volume sebesar 250 gram” yang berada pada nilai nominal yang fantastis yaitu diperkirakan 727% atau 7 kali lipat lebih mahal dibandingkan harga eceran ditoko-toko dan swalayan yang ada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kota Jambi.
Berbicara persoalan kebocoran dan/atau kehilangan air, sepertinya identik sekali dengan persoalan pendapatan, akumulasi pelanggan, serta nilai kepatuhan PDAM itu sendiri menyangkut ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Air Permukaan sebagai salah satu sumber yang syah bagi Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jambi.
Merupakan sesuatu yang tidak masuk akal atau teramat sangat sulit untuk diterima akal sehat jika dalam melakukan bisnis atau menjual air Tuhan pihak PDAM Tirta Mayang Kota Jambi harus mengalami kerugian, bahkan seharusnya mampu berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Jambi serta PAD yang memiliki pengaruh besar bagi Pemerintahan Provinsi Jambi dari sector Pajak Air Permukaan.
Untuk itu tidak ada jalan lain hukum dengan mempergunakan azaz dan norma ataupun kaidah hukum pembuktian harus mampu untuk berbuat dan bertindak guna melakukan pembuktian sejauh mana kebocoran atau kehilangan air tersebut benar-benar tidak dijadikan sebagai sarana atau lahan subur memperkaya diri sendiri, apalagi sampai dengan melaksnakan kegiatan fiktif atau rekayasa fakta administrasi kegiatan.
Menurut fakta hukum yang ada dimana diketahui jumlah pelanggan PDAM Tirta Mayang Kota Jambi, selama priode tahun 2012 sampai dengan tahun anggaran 2022 yang lalu telah mengalami peningkatan cakupan pelayanan dengan nilai rata-rata peningkatan sebesar 2,72% per tahun.
Sayangnya angka tersebut mengalami peristiwa terjun bebas atau mengalami penurunan yang begitu signifikan dan amat fantastis dimana terjadi penurunan pada tahun 2023 dengan akumulasi penurunan cakupan pelayanan sebesar 16% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2022) diangka 76% turun menjadi 60%.
Penurunan cakupan pelayanan tersebut terkesan aneh dan tidak masuk akal dibandingkan dengan peningkatan jumlah Sambungan Rumah pada tahun tersebut yang mengalami peningkatan sebesar 6,46% dibandingkan dengan akumulasi sambungan runah pada tahun 2022 yaitu sebanyak 94.156 Sambungan Rumah (SR) meningkat menjadi 100.663 SR.
Hal lainnya yang menimbulkan tanda tanya yaitu fakta tentang akumulasi penduduk Kota Jambi pada tahun 2022 yaitu sebanyak 619.553 jiwa dengan angka jumlah penduduk yang mampu dilayani yaitu sebanyak 470.780 jiwa dan pada tahun 2023 jumlah penduduk meningkat menjadi 627.714 jiwa atau dengan peningkatan sebesar 1,31% lebih akan tetapi akumulasi masyarakat yang terlayani mengalami penurunan menjadi 378.864 jiwa, atau mengalami penurunan sebanyak 91.934 jiwa ataupun sebesar 19,52%.
Sederhanya jumlah penduduk meningkat sebanyak 8.161 jiwa akan tetapi jumlah penduduk yang terlayani justru malah berkurang sebanyak 91.934 jiwa. Akan tetapi tidak diketahui secara pasti apa penyebab jumlah penduduk Kota Jambi yang terlayani mengalami penurunan sebanyak itu, apakah terjadi perbandingan terbalik antara angka kematian dengan angka kelahiran manusia pada saat itu ataukah ada sesuatu bencara yang terjadi.
Kiranya hanya ada satu jalan atau cara untuk merubah pandangan masyarakat terhadap PDAM Tirta Mayang dengan tudingan miring yaitu karena dikelola dengan menerapkan budaya koruptive, agar tidak memperluas krisis kepercayaan masyarakat terhadap Badan Usaha Milik Pemerintah Kota Jambi tersebut maka hukum dengan keperkasaan tangan-tangannya segera harus berbuat dan bertindak demi kemaslahatan warga masyarakat Kota Jambi serta Kehormatan Pemerintah Kota Jambi sendiri.
Untuk membuktikan sejauh mana penanganan kebocoran dan/atau kehilangan air tersebut benar-benar dilakukan dengan tanpa rekayasa administrasi, dengan berdasarkan pada fakta hukum yang ditemukan menyangkut dan berkaitan erat dengan tufoksi Task Forse NRW tersebut, antara lain seperti Voucher Anggaran, Surat Pengajuan Permintaan Anggaran, Rencana Anggaran Biaya, dan lain sebagainya, serta dokumen studi kelayakan (feasibility studies) menyangkut penanganan hal tersebut, patut diduga kuat untuk diyakini hal tersebut mengandung unsur perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Sehubungan dengan Tufoksi dari pada Satgas Kehilangan atau Kebocoran Air beserta dengan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut yang salah satunya yaitu tentang Pajak Air Permukaan kiranya pihak Aparat Penegak Hukum dalam hal ini penyidik Kejaksaan Tinggi Jambi dengan hak dan kewenangannya dapat berkoordinasi dengan pihak Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Kota Jambi, dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Provinsi Jambi.
Hal tersebut perlu dilakukan guna mengetahui hasil Observasi yang telah mereka lakukan terhadap PDAM Tirta Mayang Kota Jambi pada tahun 2016 yang lalu menyangkut tentang besaran nilai kewajiban dan kepatuhan PDAM Tirta Mayang terhadap keuangan Daerah Provinsi Jambi ataupun keuangan negara.
Oleh: Jamhuri – Direktur Eksekutif LSM Sembilan.