Lemahnya Hukum Internasional Terhadap Kejahatan Genosida Israel

Lemahnya Hukum Internasional Terhadap Kejahatan Genosida Israel

Genosida adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa, atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan (atau membuat punah) bangsa tersebut. Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Salah satu kejahatan genosida yang saat ini banyak dibicarakan yaitu konflik Palestina – Israel. Beberapa fakta hukum yang relevan dalam Hukum Internasional adalah:

1. Pada saat proses dekolonisasi pasca Perang Dunia II, wilayah sengketa (Palestina) secara keseluruhan berada dibawah Inggris (British Mandate for Palestine 1920-1948). Ini berarti rakyat Palestina berhak atas penentuan nasib sendiri (self-determination) untuk merdeka dari Inggris.

2. Inggris sebagai pemegang mandat gagal menengahi konflik antara komunitas Arab dan Yahudi di Palestina tentang masa depan negara baru ini, lalu kemudian menyerahkan persolan ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”), dan sejak 1948 berhenti sebagai pemegang mandat.

3. Majelis Umum PBB mengambil alih sengketa ini dan mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/181(II) dan Partition Plan (29 November 1947) (“Resolusi MU PPB 181”). Rencana ini ditolak oleh komunitas Arab dan negara-negara Arab.

4. Pada tahun 1948, komunitas Yahudi memproklamasikan berdirinya negara Israel dan mulai mengokupasi secara perlahan-lahan wilayah Palestina.

5. Gagalnya inisiatif PBB tersebut melahirkan kevakuman kekuasaan di Palestina dan berdirinya negara Israel memicu perang Israel dengan negara-negara tetangga pada 1948. Pasca perang ini, Israel berhasil menguasai secara de facto wilayah yang semula ditetapkan untuk Israel dalam Resolusi MU PBB 181, serta hampir 60% dari wilayah yang ditetapkan untuk Palestina.

Penguasaan oleh Israel atas wilayah Palestina mulai sejak awal sampai saat ini adalah pelanggaran Hukum Internasional dan pengingkaran terhadap the right of self determination dari rakyat palestina atas wilayah yang diokupasi, Israel dalam konteks ini sebagai pihak yang mengkopuasi. Status pelanggaran hukum ini tercermin pada Putusan ICJ dalam Advisory Opinion on Legal Consequences of the Construction of a Wall in the Occupied Palestinian Territory (2004) yang menyatakan bahwa Israel telah melanggar hak atas self determination Palestina. Serangan Israel terhadap Palestina di jalur Gaza dalam rangka melemahkan kekuatan Hamas banyak melanggar asas proporsionalitas dalam Hukum Humaniter Internasional.

Contoh pelanggaran tersebut diantaranya melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil dan menewaskan warga sipil tanpa pandang bulu, menyerang objek sipil dan fasilitas umum, penggunaan senjata terlarang, penyerangan udara secara tidak proporsional, dan lain-lain. Apabila hal tersebut memang benar terjadi, maka setidaknya unsur actus reus dalam poin (a), (b) dan (c) Pasal 2 Konvensi Genosida 1948 dan Pasal 6 Statuta Roma 1998 terpenuhi.

 Hukum Internasional tidak memiliki institusi penegak hukum sebagaimana layaknya Hukum Nasional. Oleh sebab itu, penegakan atas pelanggaran hukum ini diserahkan kepada negara-negara dalam bentuk reaksi atau respon baik secara sendiri maupun kolektif (melalui PBB atau organisasi regional). Respon negara akan berkarakter persistent objection (penolakan secara persisten) atau recognition (pengakuan). Kedua respon ini akan menentukan keabsahan klaim Israel.

 Penyelesaian konflik ini hanya dapat terjadi jika Hukum Internasional sudah merestuinya, dalam hal ini negara-negara memberi pengakuan atas setiap apa pun solusi yang disepakati oleh kedua negara yang berkonflik. Sayangnya kesepakatan ini belum berhasil dicapai sehingga eskalasi konflik terus terjadi. Eskalasi konflik yang terjadi belakangan ini bukan merupakan akar konflik melainkan akibat dari akar konflik yang sudah dan akan terus berlangsung melalui berbagai macam pemicu, dan hanya akan berhenti jika akar konflik itu terselesaikan.

Ketidakmampuan sistem internasional, termasuk badan-badan seperti PBB untuk menghentikan kekejaman yang sedang berlangsung di Gaza, di mana lebih dari 36.000 warga Palestina telah terbunuh dan telah menyebabkan kehancuran yang luas, pengungsian, dan kondisi kelaparan akut. Apa gunanya PBB jika tidak bisa menghentikan genosida yang disiarkan langsung di abad ke-21. Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan tidak mampu melindungi personel atau pekerja bantuannya sendiri, apalagi menghentikan genosida. Nilai-nilai seperti demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan berbicara dan pers, hak perempuan dan anak telah musnah karena kematian umat manusia di Gaza. Tidak hanya umat manusia yang binasa di Gaza, tetapi juga PBB dengan semangatnya.


Oleh: Budi Ardianto S.H., M.H. Bisma Arditya Mahardika. Mhasiswa Universitas Jambi, Fakultas Hukum, Prodi Ilmu Hukum